Kamis, 24 Maret 2011

A short story of a single fighter


-->
Jarum Pendek jam dinding warna biru tua itu menunjuk ke arah angka 10, sedang jarum panjangnya berada tepat menunjuk angka 4. Seperti biasa, Yu Jah masih dengan setia mengikuti tiap episode sinetron favoritnya  itu dari sehabis magrib  hingga jam 10an malam. Sesekali dia menguap dan sudah nampak lelah dengan aktivitas yang diakerjakan seharian ini, namun Tokoh ‘Surti’ di sinetron itu selalu menggelitiknya untuk terus mengikuti alur cerita sinetron yang belakangan ini jam tayangnya tidak jelas itu.

Melihat sosok Yu Jah dengan Daster warna coklat  yang sedang asyik menonton gelak tawa di tivi membuat pikiranku menerawang. Aku teringat dengan kisah hidupnya yang selalu menjadi tumpuan hidup keluaganya. Sedari remaja, Yu Jah sudah mulai bekerja untuk membantu orangtuanya membiayai adik-adiknya, dari pengumpul barang-barang rongsokan,pedagang sayur keliling,kerja di pabrik plastik, buruh gendong di pasar, pembuat keripik singkong, menjadi pembantu, hingga mejadi pengasuhku sewaktu 17 tahun yang lalu. Latar belakang pendidikan lah yang membuatnya selalu menjadi pekerja kasar. Sekalipun dia tidak menamatkan pendidikan SD dan nyaris tidak bisa membaca dan menulis, namun dia tidak mau menunggu dan hanya mengharap belas kasihan dari saudara-saudaranya. Dia lebih memilih untuk membanting tulang sebagai single fighter untuk menghidupi anak dan Ibunya.

Cerita Yu Jah tidak hanya berakhir sebagai pekerja kasar. Kisah cintanya pun demikian, tidak berjalan mulus. Sempat dia di tipu beberapa laki-laki yang juga pedagang di pasar. Bekali-kali hal itu terjadi. Seringnya, dia di mintai uang oleh pacar-pacar nya itu, dan ditinggalkan setelah semua barang berharga yang dia miliki itu ludes. Sebelum itu, Yu Jah juga sempat berhubungan dengan suami dari adiknya hingga melahirkan seorang anak perempuan yang saat ini kira-kira berusia 18 tahun.  Semua orang yang tinggal disekitar rumahnya pun tahu akan hal itu dan anaknya sendiripun tahu bahwa dia itu adalah anak hasil dari hubungan ibunya dengan suami  BuLeknya sendiri. Hal yang tidak bisa kuterima secara rasional hingga detik ini adalah semua pihak yang terkait dalam permasalahan itu merasa baik-baik saja dan hubungan mereka terjalin seperti biasa. Adiknya masih bersuamikan laki-laki itu hingga mempunyai 3 orang anak, anak Yu Jah sendiripun juga berhubungan baik dengan sepupu satu ayahnya itu, Yu jah pun juga berhubungan baik dengan adik dan adik iparnya itu. Semuanya pun berjalan normal seperti tidak terjadi  apa-apa. Tak jarang perempuan bertubuh kurus itu bertandang ke rumah adiknya untuk mengunjungi keponakannya, buah tanganpun tak pernah absen dia bawa. Aku mungkin tidak mengerti  jalan pikirannya waktu itu, tapi sampai saat inipun aku masih tak habis pikir mengapa Yu Jah tidak memaksa lelaki itu untuk bertanggungjawab dan berkesan merelakan hal itu terjadi hingga detik ini sekalipun, di usia Yu Jah yang menginjak 41 tahun.

Sudah 2 bulan ini Yu Jah sering menginap dirumahku walaupun itu tidak setiap hari. Pagi hingga sore dia membantu bisnis orangtuaku yang alhamdulilah sedang banyak order. Lumayan lah bisa memberikan lapangan pekerjaan untuk orang lain. Beberapa bulan sebelumnya, Yu Jah sempat berkeluh kesah tentang harga-harga sayuran yang kian hari makin mahal. Sebagai imbas dari kenaikan harga sayuran dagangannya tidak laku. Belum lagi ditambah dengan hutangnya pada tukang kredit pasar dengan jumlah nominal cukup besar serta arisan-arisan yang diikuti Ibunya setiap bulannya yang belum dibayar seketika membuat Yu Jah kelimpungan memikirkannya. Beruntung anak perempuannya yang tomboy itu sudah mulai bekerja, jadi bisa sedikit meringankan beban ekonomi. Ibuku yang lebih dari 20 tahun mengenalnya merasa kasihan dan menyuruhnya untuk ikut membantu di rumahku sebagai pekerjaan sampingan. Namun belakangan Yu Jah lebih memilih bekerja ditempatku dari pada berjualan di pasar dan harus bertemu dengan si penagih hutang.

Sampai detik ini pun masih berjuta pertanyaan yang selalu berputar-putar di kepalaku tentang Yu Jah, pilihan hidupnya, terlebih jalan pikirannya. Aku selalu teringat hal itu ketika melihat kegigihannya dalam bekerja. Aku merasa tak habis pikir mengapa selalu wanita yang dirugikan. Dihamili tanpa sebuah ikatan, menanggung malu, dihujat orang, dan yang menghamili  tanpa merasa bersalah masih bisa hidup tanpa beban. Mungkin itu bahasa kasarnya . Untuk yang satu itu, sulit rasanya untuk merangkai kata yang lebih membuat ungkapan itu menjadi halus. Semoga tidak ada orang lagi yang bernasib sama. Ya.., aku juga tidak bisa menyalahkan jalan pikirannya yang seperti itu, karena itu haknya untuk memilih dan memutuskan. Mungkin juga itu dipengaruhi oleh kondisi sosial belasan tahun lalu yang masih konservatif, yang tidak mau membesar-besarkan suatu masalah, yang lebih memilih hatinya terluka, mengalah, tetapi  melihat adiknya bahagia. Terkadang pemikiran  konservatif lah yang bisa merugikan, tetapi di sisi lain konservatif juga lebih bermanfaat dari sebuah modernisasi ataupun kehidupan metropolis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar